Senin, 22 Oktober 2012

PANCASILA, TRISILA DAN EKASILA


EKA, TRI dan PANCASILA 
Kamis, 29 Mei 2008 09:39:53
http://www.pdp.or.id/tfiles/Image/news/id/news21211945247.jpg 
Oleh: H Abdul Madjid

>>>Di dalam pidatonya di depan BPUPK pada tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno berkata:

”......Atau Barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal tiga saja. Saudara-saudara tanya pada saya, apakah “perasaan” yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauungkita. Dua dasar yang pertama kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan sosio-nasionalisme.."

Dan Demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiek-ekonomische demokratie, yaitu politieke demokratie dengan sosiole rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu. Itulah yang dulu saya namakan sosioale-demokrasi

Tinggal lagi Ketuhanan yang menghormati satu sama lain.

Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan Ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambilah sila tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-Tuan senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?

Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan Negara Indonesia yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, - semua buat semua!

Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “Gotong-royong” Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah Negara gotong royong: Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong.”
Demikian kutipan Pidato Bung Karno.

Jika menyimak ungkapan Bung Karno, kita harus dapat mengerti, bahwa dengan ungkapan ini Bung Karno mengungkapkan pula bahwa Pancasila adalah identik (semakna dan sehakikat) dengan Trisila, dan identik pula dengan Ekasila alias Gotong Royong.

Dengan adanya pengertian tentang identiknya Pancasila, Trisila, dan Ekasila, kita dengan sendirinya harus menegakkan dan mempertahankan pendirian bahwa, karena Pancasila adalah suatu jalin-jemalinan yang utuh, yang Sila satu dan Sila lainnya tidak terpisahkan, tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan. Maka dengan sendirinya Trisila harus demikian dan ”gotong royong” harus merupakan satu kemanunggalan yang utuh pula.

Penegakan paham bahwa Pancasila, Trisila, maupun Ekasila alias Gotong Royong adalah merupakan satu jalin-jemalinan yang utuh adalah suatu keharusan. Tanpa pemahaman ini kita tidak akan mengerti tentang keterikatan secara manunggal dari Kebangsaan Indonesia dan Demokrasi Indonesia. Kita tidak akan memahami bahwa tanpa keterikatan secara manunggal dari Kebangsaan Indonesia dan Demokrasi Indonesia kita tidak akan dapat membangun Indonesia dan kita tidak akan dapat mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sehubungan dengan pembaruan yang dilancarkan oleh Partai Demokrasi Pembaruan dalam hidup dan kehidupan politik dan partai-partai politik, yang kita perbarui bukan Pancasilanya dan bukan pula Pembukaan Undang-Undang Dasarnya. Yang kita perbarui adalah naluri dan semangat penghayatannya.

Kita tidak membaca Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sekedar kalimat-kalimatnya secara harfiah saja, tetapi kita membacanya secara teliti dan mendalam untuk mencari makna dan hakikatnya dan untuk menemukan amanat-amanat yang terkandung di dalamnya.

Ternyata dengan pembaruan naluri dan semangat penghayatan kita dapat menemukan beberapa hal yang sangat fundamental, yang sebelumnya belum pernah terungkap.

Ya, sangat fundamental dan harus ditaati karena itu adalah “amanat” Pembukaaan Undang-Undang dasar 1945, yang tidak boleh diubah sedikit pun.

Dalam hal ini yang kita pegang adalah Undang-Undang Dasar 1945 yang asli, yang tidak diamandemen, karena amandemen telah membuang Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Padahal dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 terkandung penjelasan tentang Pokok-Pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang 1945.

Dengan dihilangkannya Penjelasan oleh amandemen penafsiran makna dan hakikat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat dilakukan secara sewenang-wenang. Sedangkan pemahaman dan penghayatan amanat-amanat yang terkandung di dalamnya menjadi dangkal.

Oleh karena itu pembaruan naluri dan semangat pemahamannya sangat diperlukan.
 EKA, TRI dan PANCASILA 
Kamis, 29 Mei 2008 09:39:53
http://www.pdp.or.id/tfiles/Image/news/id/news21211945247.jpg 
Oleh: H Abdul Madjid

>>>Di dalam pidatonya di depan BPUPK pada tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno berkata:

”......Atau Barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal tiga saja. Saudara-saudara tanya pada saya, apakah “perasaan” yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauungkita. Dua dasar yang pertama kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan sosio-nasionalisme.."

Dan Demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiek-ekonomische demokratie, yaitu politieke demokratie dengan sosiole rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu. Itulah yang dulu saya namakan sosioale-demokrasi

Tinggal lagi Ketuhanan yang menghormati satu sama lain.

Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan Ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambilah sila tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-Tuan senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?

Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan Negara Indonesia yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, - semua buat semua!

Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “Gotong-royong” Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah Negara gotong royong: Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong.”
Demikian kutipan Pidato Bung Karno.

Jika menyimak ungkapan Bung Karno, kita harus dapat mengerti, bahwa dengan ungkapan ini Bung Karno mengungkapkan pula bahwa Pancasila adalah identik (semakna dan sehakikat) dengan Trisila, dan identik pula dengan Ekasila alias Gotong Royong.

Dengan adanya pengertian tentang identiknya Pancasila, Trisila, dan Ekasila, kita dengan sendirinya harus menegakkan dan mempertahankan pendirian bahwa, karena Pancasila adalah suatu jalin-jemalinan yang utuh, yang Sila satu dan Sila lainnya tidak terpisahkan, tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan. Maka dengan sendirinya Trisila harus demikian dan ”gotong royong” harus merupakan satu kemanunggalan yang utuh pula.

Penegakan paham bahwa Pancasila, Trisila, maupun Ekasila alias Gotong Royong adalah merupakan satu jalin-jemalinan yang utuh adalah suatu keharusan. Tanpa pemahaman ini kita tidak akan mengerti tentang keterikatan secara manunggal dari Kebangsaan Indonesia dan Demokrasi Indonesia. Kita tidak akan memahami bahwa tanpa keterikatan secara manunggal dari Kebangsaan Indonesia dan Demokrasi Indonesia kita tidak akan dapat membangun Indonesia dan kita tidak akan dapat mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sehubungan dengan pembaruan yang dilancarkan oleh Partai Demokrasi Pembaruan dalam hidup dan kehidupan politik dan partai-partai politik, yang kita perbarui bukan Pancasilanya dan bukan pula Pembukaan Undang-Undang Dasarnya. Yang kita perbarui adalah naluri dan semangat penghayatannya.

Kita tidak membaca Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sekedar kalimat-kalimatnya secara harfiah saja, tetapi kita membacanya secara teliti dan mendalam untuk mencari makna dan hakikatnya dan untuk menemukan amanat-amanat yang terkandung di dalamnya.

Ternyata dengan pembaruan naluri dan semangat penghayatan kita dapat menemukan beberapa hal yang sangat fundamental, yang sebelumnya belum pernah terungkap.

Ya, sangat fundamental dan harus ditaati karena itu adalah “amanat” Pembukaaan Undang-Undang dasar 1945, yang tidak boleh diubah sedikit pun.

Dalam hal ini yang kita pegang adalah Undang-Undang Dasar 1945 yang asli, yang tidak diamandemen, karena amandemen telah membuang Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Padahal dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 terkandung penjelasan tentang Pokok-Pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang 1945.

Dengan dihilangkannya Penjelasan oleh amandemen penafsiran makna dan hakikat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat dilakukan secara sewenang-wenang. Sedangkan pemahaman dan penghayatan amanat-amanat yang terkandung di dalamnya menjadi dangkal.

Oleh karena itu pembaruan naluri dan semangat pemahamannya sangat diperlukan.

Tidak ada komentar: