EKA, TRI dan PANCASILA
Kamis, 29 Mei 2008 09:39:53
Kamis, 29 Mei 2008 09:39:53
Oleh: H Abdul Madjid
>>>Di dalam pidatonya di depan BPUPK pada tanggal 1
Juni 1945 Bung Karno berkata:
”......Atau Barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan
bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal tiga saja.
Saudara-saudara tanya pada saya, apakah “perasaan” yang tiga itu?
Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia
Merdeka, Weltanschauungkita.
Dua dasar yang pertama kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan
perikemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan
sosio-nasionalisme.."
Dan Demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi
politiek-ekonomische demokratie, yaitu politieke
demokratie dengan sosiole rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan,
saya peraskan pula menjadi satu. Itulah yang dulu saya namakan
sosioale-demokrasi
Tinggal lagi Ketuhanan yang menghormati satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga:
sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan Ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada
simbolik tiga, ambilah sila tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-Tuan
senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya
jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan Negara
Indonesia yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen
buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat
Indonesia, bukan Van Eck buat
Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat
Indonesia, - semua buat semua!
Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi
satu, maka dapatlah satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “Gotong-royong”
Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah Negara gotong royong: Alangkah
hebatnya! Negara Gotong Royong.”
Demikian kutipan Pidato Bung Karno.
Jika menyimak ungkapan Bung Karno, kita harus dapat mengerti,
bahwa dengan ungkapan ini Bung Karno mengungkapkan pula bahwa Pancasila adalah
identik (semakna dan sehakikat) dengan Trisila, dan identik pula dengan Ekasila
alias Gotong Royong.
Dengan adanya pengertian tentang identiknya Pancasila, Trisila,
dan Ekasila, kita dengan sendirinya harus menegakkan dan mempertahankan
pendirian bahwa, karena Pancasila adalah suatu jalin-jemalinan yang utuh, yang
Sila satu dan Sila lainnya tidak terpisahkan, tidak dapat dan tidak boleh
dipisahkan. Maka dengan sendirinya Trisila harus demikian dan ”gotong royong” harus
merupakan satu kemanunggalan yang utuh pula.
Penegakan paham bahwa Pancasila, Trisila, maupun Ekasila alias
Gotong Royong adalah merupakan satu jalin-jemalinan yang utuh adalah suatu
keharusan. Tanpa pemahaman ini kita tidak akan mengerti tentang keterikatan
secara manunggal dari Kebangsaan Indonesia dan Demokrasi Indonesia. Kita tidak
akan memahami bahwa tanpa keterikatan secara manunggal dari Kebangsaan
Indonesia dan Demokrasi Indonesia kita tidak akan dapat membangun Indonesia dan
kita tidak akan dapat mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Sehubungan dengan pembaruan yang dilancarkan oleh Partai
Demokrasi Pembaruan dalam hidup dan kehidupan politik dan partai-partai
politik, yang kita perbarui bukan Pancasilanya dan bukan pula Pembukaan
Undang-Undang Dasarnya. Yang kita perbarui adalah naluri dan semangat
penghayatannya.
Kita tidak membaca Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 sekedar kalimat-kalimatnya secara harfiah saja, tetapi kita membacanya
secara teliti dan mendalam untuk mencari makna dan hakikatnya dan untuk
menemukan amanat-amanat yang terkandung di dalamnya.
Ternyata dengan pembaruan naluri dan semangat penghayatan kita
dapat menemukan beberapa hal yang sangat fundamental, yang sebelumnya belum pernah
terungkap.
Ya, sangat fundamental dan harus ditaati karena itu
adalah “amanat” Pembukaaan Undang-Undang dasar 1945, yang tidak boleh
diubah sedikit pun.
Dalam hal ini yang kita pegang adalah Undang-Undang Dasar 1945
yang asli, yang tidak diamandemen, karena amandemen telah membuang Penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945. Padahal dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945
terkandung penjelasan tentang Pokok-Pokok pikiran yang terkandung dalam
Pembukaan Undang-Undang 1945.
Dengan dihilangkannya Penjelasan oleh amandemen penafsiran makna
dan hakikat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat dilakukan secara
sewenang-wenang. Sedangkan pemahaman dan penghayatan amanat-amanat yang
terkandung di dalamnya menjadi dangkal.
Oleh karena itu pembaruan naluri dan semangat pemahamannya
sangat diperlukan.
Kamis, 29 Mei 2008 09:39:53
Oleh: H Abdul Madjid
>>>Di dalam pidatonya di depan BPUPK pada tanggal 1
Juni 1945 Bung Karno berkata:
”......Atau Barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan
bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal tiga saja.
Saudara-saudara tanya pada saya, apakah “perasaan” yang tiga itu?
Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia
Merdeka, Weltanschauungkita.
Dua dasar yang pertama kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan
perikemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan
sosio-nasionalisme.."
Dan Demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi
politiek-ekonomische demokratie, yaitu politieke
demokratie dengan sosiole rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan,
saya peraskan pula menjadi satu. Itulah yang dulu saya namakan
sosioale-demokrasi
Tinggal lagi Ketuhanan yang menghormati satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga:
sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan Ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada
simbolik tiga, ambilah sila tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-Tuan
senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya
jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan Negara
Indonesia yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen
buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat
Indonesia, bukan Van Eck buat
Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat
Indonesia, - semua buat semua!
Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi
satu, maka dapatlah satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “Gotong-royong”
Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah Negara gotong royong: Alangkah
hebatnya! Negara Gotong Royong.”
Demikian kutipan Pidato Bung Karno.
Jika menyimak ungkapan Bung Karno, kita harus dapat mengerti,
bahwa dengan ungkapan ini Bung Karno mengungkapkan pula bahwa Pancasila adalah
identik (semakna dan sehakikat) dengan Trisila, dan identik pula dengan Ekasila
alias Gotong Royong.
Dengan adanya pengertian tentang identiknya Pancasila, Trisila,
dan Ekasila, kita dengan sendirinya harus menegakkan dan mempertahankan
pendirian bahwa, karena Pancasila adalah suatu jalin-jemalinan yang utuh, yang
Sila satu dan Sila lainnya tidak terpisahkan, tidak dapat dan tidak boleh
dipisahkan. Maka dengan sendirinya Trisila harus demikian dan ”gotong royong” harus
merupakan satu kemanunggalan yang utuh pula.
Penegakan paham bahwa Pancasila, Trisila, maupun Ekasila alias
Gotong Royong adalah merupakan satu jalin-jemalinan yang utuh adalah suatu
keharusan. Tanpa pemahaman ini kita tidak akan mengerti tentang keterikatan
secara manunggal dari Kebangsaan Indonesia dan Demokrasi Indonesia. Kita tidak
akan memahami bahwa tanpa keterikatan secara manunggal dari Kebangsaan
Indonesia dan Demokrasi Indonesia kita tidak akan dapat membangun Indonesia dan
kita tidak akan dapat mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Sehubungan dengan pembaruan yang dilancarkan oleh Partai
Demokrasi Pembaruan dalam hidup dan kehidupan politik dan partai-partai
politik, yang kita perbarui bukan Pancasilanya dan bukan pula Pembukaan
Undang-Undang Dasarnya. Yang kita perbarui adalah naluri dan semangat
penghayatannya.
Kita tidak membaca Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 sekedar kalimat-kalimatnya secara harfiah saja, tetapi kita membacanya
secara teliti dan mendalam untuk mencari makna dan hakikatnya dan untuk
menemukan amanat-amanat yang terkandung di dalamnya.
Ternyata dengan pembaruan naluri dan semangat penghayatan kita
dapat menemukan beberapa hal yang sangat fundamental, yang sebelumnya belum pernah
terungkap.
Ya, sangat fundamental dan harus ditaati karena itu
adalah “amanat” Pembukaaan Undang-Undang dasar 1945, yang tidak boleh
diubah sedikit pun.
Dalam hal ini yang kita pegang adalah Undang-Undang Dasar 1945
yang asli, yang tidak diamandemen, karena amandemen telah membuang Penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945. Padahal dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945
terkandung penjelasan tentang Pokok-Pokok pikiran yang terkandung dalam
Pembukaan Undang-Undang 1945.
Dengan dihilangkannya Penjelasan oleh amandemen penafsiran makna
dan hakikat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat dilakukan secara
sewenang-wenang. Sedangkan pemahaman dan penghayatan amanat-amanat yang
terkandung di dalamnya menjadi dangkal.
Oleh karena itu pembaruan naluri dan semangat pemahamannya
sangat diperlukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar